Monday 26 October 2015

Apakah Proses Kreatif itu?

Pertanyaan seperti ini bisa timbul bagi sesiapa yang mengunjungi blog saya ini. Apa si maksud Mbak Vita ini kok kasih judul blognya Catatan Proses Kreatif ? ternyata arti yang saya sudah yakini itu benar dari makna "proses kreatif" bisa memiliki makna yang lebih dalam dan sedikit filosofis.

Semalam di Sanggar Teater Satu kami belajar tentang apa itu proses kreatif. Sebelum semalam, saya hanya tau kalau proses kreatif itu adalah proses dimana kita mencipta suatu karya, apa kesulitan dll. Semalam kak is menjelaskan bahwa proses kreatif itu sendiri adalah keberanian kita menempatkan diri untuk terus-menerus berada dalam situasi tegang menghadapi tantangan. Dalam proses kreatif itu ada tahapan atau levelitas yang harus dilalui oleh seniman/ilmuan dsb. agar tidak berhenti di satu level yang nyaman. Benar, bahwa tiap level memiliki tantangan, ujian, atau kesulitan yang berbeda dan terus meningkat seiring meningkatnya level kita. Apabila kita merasa nyaman, aman, tentram berada di satu level tanpa mencari atau menempatkan diri kita di dalam tegangan tantangan berarti kita sudah mencapai level The Confort Zone atau zona nyaman. Di zona nyaman ini kita akan menjalani proses tanpa ada tantangan, jadi yaa adem ayem saja tanpa kesulitan, dan di titik itu pengetahuan dan kemampuan kita juga akan mandek dan tidak berkembang, bahkan bisa jadi menyusut. Kehidupan seperti tidak bergerak, tak ada gejolak, medioker. Pakde' Ariestoteles juga mengatakan bahwa alam semesta ini tidak menyukai kehampaan "Nature Abhors a Vacuum" kehampaan yang dimaksud disini bukan kosong tanpa isi, tetapi kehidupan yang berhenti dan tidak bergerak. Jadi kalau kita terus mencipta dan bergerak berarti kita mengikuti kodrat alam.

Berdasarkan pelajaran tentang proses kreatif ini, ada hal yang juga sangat penting di sampaikan Kak Is semalam, yaitu tentang dua tipe seniman yang sering sekali kita jumpai dan gentayangan di sekitar kita. Seniman pertama adalah seniman status. Seniman tipe ini adalah seniman yang menjadikan  kenyamanan, kepastian, kemapanan, status, dan materi sebagai parameter kesuksekannya. Lalu diantara banyak parameter itu ia hanya menyelipkan karya sebagai parameter di tempat yang terpenil, nyempil, sedikit saja. Seniman Jenis ini jelas akan marah atau uring-uringan kalau doi gak diundang di fetival sastra internasional, diskusi sastra, pembicara dll. Tipe seniman yang kedua adalah seniman yang menjadikan karya sebagai parameternya. Seniman jenis ini akan selalu memikirkan karyanya bukan tentang pandangan orang lain terhadap diri dia secara individu, mereka akan terus menerus memeriksa karyanya dan belajar mencipta karya yang baik melalui proses kreatif itu tadi. Seniman jenis ini akan hidup jiwanya, merasa utuh dan damai dirinya ketika sedang gelisah berkarya bukan ketika ia dielu-elukan dan dipuja-puja oleh penggemar dan media atau mendapat jempol banyak di status facebooknya. hihihi...

So, tipe seniman jenis apakah kita???

Seperti kata Om Jalaludin Rumi "Lebih Baik Aku Berperang Dengan Pedih Daripada Bersantai, Di Jalan Ini Biarlah Aku Ditempa Dan Ditantang Terus"

Thursday 8 October 2015

Apa Yang Paling Kurindu dari Proses Teater?

Kalau suatu hari aku sudah tak lagi berteater dengan alasan yang pastinya sangat sulit untuk kuterima, misalnya tubuh yang sudah tak kuat lagi mengendarai motor atau menyetir mobil atau keadaan yang memaksaku pindah ke tempat yang jauh atau dekat, apa kiranya yang paling aku rindukan dari proses berteaterku ini? tiba-tiba pertanyaan itu menghampiriku malam ini. Kosong.

Bukan, bukan bagaimana tegangnya saat akan pentas, susahnya mencari akting yang pas untuk peran, tepuk tangan dan pujian penonton,  kritik dan ejekan penonton, menganalisa dan  menghapal naskah, mencari subtek, beradu argumen dengan teman, atau perjalanan tour pentas ke berbagai kota, melainkan perjalanan pulang dari sanggar kerumah. Kenapa? Apa-apa yang aku sebutkan diatas itu memang pasti akan aku rindukan, tapi perjalanan pulang dari sanggar ke rumah itulah yang paling kurindukan sepertinya sekarang ini yang kupikirkan, bisa saja berubah sebulan atau setahun lagi. 

Rumahku memang paling jauh dan paling rawan begal dibanding teman-teman lainnya. Aku juga tidak pernah merasa iri dengan teman-temanku yang rumahnya dekat dengan sanggar. Dengan jarak yang kurang lebih 30 KM dan letaknya di luar kota Bandar Lampung sebenarnya aku sendiri tak pernah merasa takut atau berpikir akan ancaman begal dll, bukan sombong, tapi ada hal besar yang bisa mengalahkan rasa takutku itu. 

Sepi jalanan, dingin angin, toko-toko sudah tutup, dan perasaan yang berkemelut yang tak tunai didalam diriku selalu menjadi kekuatan atau energi untuk  perjalanan pulang ku ini. Setiap hari memiliki rasa yang berbeda-beda. Dalam perjalanan ada perasaan gelisah  dan pikiran yang tak tunai, yang mengganjal, yang membuatku selalu ingin datang lagi esok dan kadang membuatku tak bisa tidur. Perasaan belum tuntas itu misalnya seperti ini, malam ini aku berdiskusi dan belajar tentang paragraf. Belum selesai diskusi itu sudah seperti di ingatkan selalu dengan larutnya malam. Waktu sudah hampir jam 12 malam dan pelajaran tentang macam-macam paragraf belumlah beres. Kami belum selesai memberi contoh penggabungan antara paragraf narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi dan persuasi dalam satu topik, tapi kami harus segera pulang. Pada situasi seperti itu, sungguh tak mengenakkan ketika perjalanan pulang. Di perjalanan aku memikirkan, ahh.. pelajaran belum tuntas dan besok belum tentu diulang lagi, pasti ada topik yang beda, ada pelajaran yang beda lagi, sementara pikiran masih gelisah. Contoh yang lain, ketika aku latihan "Buried Child" dan peran Selly ku coba tawarkan bentuk dan pilihan baru kepada sutradara, tapi ternyata bentuk baru itu tidak pas menurut sutradara. Dan bodohnya aku ngeyel dan tidak berterima dengan hal itu dan mengajak sutradara beradu argumen. Ketika di perjalanan pulang, pikiran dan perasaanku seperti diajak me-rewind lagi apa yang sudah  kulakukan tadi ketika di atas panggung, berdiskusi dengan teman atau sutradara. Ada penyesalan sudah melakukan kesalahan, penyadaran bahwa yang sutradara atau teman lain katakan itu benar,  ada ego yang tetap merasa tak mau kalah, ketidakpuasan dengan argumen yang dikatakan teman atau sutradara, ada rasa sakit hati karena dikritik, ada keriangan saat dipuji, ada kesenangan karena menerima pelajaran yang memang sangat dibutuhkan,  ada yang bersisa. Dalam perjalanan pulang itulah aku seperti merefleksi apa-apa yang sudah aku lakukan selama latihan hari ini, yang membuatku merasa ingin memperbaiki, menyesali, merasa kurang, merasa bodoh, merasa sombong, merasa benar, merasa sangat butuh kembali lagi ke sanggar. 

Perjalanan jauh, sendiri, sepi dan ada refleksi. Itulah mengapa aku sangat senang pada bagian itu di seluruh proses berteaterku, dan mungkin itu yang akan aku rindukan kelak. Bagiku, itu istimewa. Aku tidak tahu kenapa perasaan itu muncul ketika dalam perjalanan pulang, bukan ketika mau tidur atau mau berangkat latihan atau yang lainnya. Setelah hampir 8 tahun berteater, ternyata aku baru menyadari hal itu malam ini. Mungkin nanti kalau rumahku pindah jadi di dekat sanggar dan tidak ada lagi perjalanan pulang yang jauh, belum tentu aku merasakan hal istimewa itu. Aku harus menemukan situasi lain yang bisa menggantikannya, dan aku belum memikirkan itu apa. Karena memang tak ingin.