Wednesday 15 October 2014

Mbah Jenggot
























Mau ngepost tentang "Mbah Jenggot" ini saja saya harus melawannya... hehe.. melawan mbah jenggot itu sendiri. Tapi akhirnya mbahnya kabur...
Apa sih "Mbah Jenggot"??
Mbah Jenggot adalah istilah yang diciptakan Kak Is untuk mengasosiasikan kata "Malas". Saya agak kurang tahu kenapa disebut mbah jenggot, mungkin karena kalau orang malas itu lebih sering tidur dan nyender ke tembok atau apa terus ngelus-elus jenggot terus sampai panjang... hehe ngarang nih..

Setiap kali kami kelihatan malas latihan, malas bergerak, malas membaca, malas menulis, dan malas-malas lainnya, pasti Kak Is menyebut kami Mbah Jenggot. Kadang kan kami lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain gadget dan berlama-lama ria untuk itu daripada membaca buku atau menulis. Itulah salah satu bentuk Mbah Jenggot  yang sedang berkuasa dalam diri.

"Semakin tinggi peradaban, semakin berkuasalah Mbah Jenggot" begitulah kata Kak Is.

Tepat! Semakin canggih teknologi yang diciptakan, orang-orang akan semakin malas bergerak atau melakukan sesuatu, karena semua sudah diambil alih  oleh mesin. Saya membayangkan nantinya ada mesin penggosok tubuh manusia saat mandi. Jadi yang mandi bisa cuma duduk saja sambil BBMan atau Twitteran. Yang menggosok badan, gosok gigi sampai cebok dilakukan oleh mesin. Aish!!!

Yang selalu saya ingat dari bahasan Mbah Jenggot ini adalah "Ada banyak orang lebih maju dan sukses karena kita malas. Mereka tidak ada saingan!" Kalimat dari Kak Is itu selalu saya iyakan dalam hati. Ahhh.... jauhkanlah dari Mbah Jenggot..... ia memang tidak bisa dimusnahkan, tapi bisa kita taklukan!!!

Tuesday 14 October 2014

Tiga Metode Menulis Mantab!



Tadi malam  tidak semua teman-teman Teater Satu hadir, ada beberapa berhalangan, seperti Agung, Kak Deri, Pipit, dll. Sehabis magrib Kak is meminta kami menyiapkan flowchart untuk belajar. Kak is mengatakan bahwa kami harus mencatat semua hasil latihan dtau apapun agar selalu di ingat atau bisa share dengan orang lain melalui tulisan itu. Kak Is mengutip kata-kata Socrates “Vok Audita Perit, Littera Scripta” yag artinya suara yang diucapkan akan hilang atau dilupakan sedangkan kalimat yang ditulis akan tinggal abadi. Kami akan belajar tentang metode dalam menulis, apapun itu jenis tulisannya, baik itu esay, puisi, naskah, artikel, dll. Belum saja Kak Is memulai materi tentang metode penulisan ini tiba-tiba hujan datang sebentar dan cukup membuat kami mengambil jaket dan memakainya atau sekedar  mengusap-usap lengan dan bahu.  Kak Is kemudian memulai materinya dengan menjelaskan metode pertama yaitu:

1. Menentukan Premise

Metode ini adalah metode yang sering digunakan oleh perguruan tinggi atau sekolah-sekolah dalam tata cara menulis. Pada metode ini hal pertama yang akan kami lakukan sebelum menulis adalah menentukan ‘premise’ atau apa yang sebenarnya ingin dibicarakan dalam tulisan itu. Setelah menemukan premise fase selanjutnya adalah menentukan Pokok Pikiran Utama (PPU) dan Pokok Pikiran Penjelas (PPP). PPU bisa disebut juga dengan motif mengapa mengambil premis itu, sedangkan PPP adalah penjelasan dari PPU atau bisa juga cara yang digunakan agar sesuai dengan premise itu sendiri. PPP bisa berjumlah leih dari satu, asalkan measih berhubungan dengan premise itu sendiri. Kak Is meminta kami memberikan contoh premise dalam kehidupan sehari-hari. Gibran adalah yg pertama kali harus memberikan contoh premis dalam kehidupan sehari-hari. Ia dengan lantang membacakan premisenya "Gemuk bukan berarti tidak bisa melompat". Gibran si bujang berbadan "sintal" itu memilih topik yang sesuai dengan pengalaman dia berlatih olah tubuh menggunakan metode biomekanik. Sontak kami tertawa lepas mendengar itu. Premise yang sangat tepat untuk Gibran. 

Premise                   :  ‘Gemuk bukan berarti tidak bisa melompat’
PPU                        : ‘Banyak orang gemuk yang tidak bisa melompat’
PPP                        : ‘latihan yang rutin dapat meringankan tubuh’

Setelah mencari tiga unsur di atas maka mulailah menulis. Bagaimana proses Gibran bisa melompat dengan ringan. Ada cerita didalamnya, apakah keputus asaan yang ia alami karena pertama mencoba melompat gagal, apakah bagaimana ia menumbuhkan keberanian untuk melompat, dll.  Fungsi premise disini adalah alat kontrol kita agar tetap pada garis merah si cerita. Jadi cerita itu ada tujuannya, ada gambaran apa isi dari tulisan itu setelah membaca premise.

2. Metode Pilih 1 Kata (berpikir dari kerangka konflik)


Metode ini adalah metode hasil ciptaan Kak Is sendiri. Metode yang sangat menarik menurutku. Kak Is meminta kami memilih satu kata  (kata apa saja) dan memberi kata itu sebuah konflik. Semisal seperti ini :







Dari gambaran diatas kata “Jilbab” adalah satu kata yang dipilih oleh Reni , dari situ Kak Is mulai meminta kami memasukan konflik dari kata jilbab itu sendiri. Lagi-lagi Reni yang diminta memasukan konflik, dia memilih kata “gerah” dan setelah itu masukan akibat-akibat dari konflik itu dan seterusnya. "kabur dari rumah" bukanlah akhir dari cerita, tetapi bisa sebagai puncak dari konflik itu sendiri. kemudian si penulis bisa melanjutkan dengan memberi resolusi dan solusi agar cerita berakhir dengan halus. Metode ini bisa dengan cepat membuat saya berimajinasi. Bayangkan hanya dengan memilih satu kata saja kita bisa memiliki sebuah cerita yang sangat menarik. Kami diminta berfikir dalam kerangka konflik. Masukkan konflik dari kata apa yang kami pilih dan buat cerita dari situ. Saya jadi ingin sekali membuat cerita misalnya dari sebuah kata "Panggung" konflik apa yang bisa terjadi dengan panggung. Mungkin saja panggung yang roboh atau panggung yang terbakar dan masih banyak lagi. Apa akibat dari robohnya panggung itu dan seterusnya. Metode yang Kak Is berikan ini membuat saya ingin sekali menulis sebuah cerita prosa seperti cerpen, naskah atau bahkan novel (semoga ga cuma wacana) hehe....

Teman-teman yang lain saya lihat juga memiliki gairah ingin menulis dengan melihat metode ini. Baysa misalnya dia memberi contoh yang lain yaitu menggunakan kata "Peran" koflik yang muncul adalah 'kurang imajinasi' akibat dari kurang imajinasi itu dia jadi tidak bisa berakting dengan baik. Akibat selanjutnya adalah sutradara marah, setelah itu ia stress karena sutradara marah dan sampai frustasi sampai ingin bunuh diri hihi. Setelah konflik memuncak ia harus menemukan resolusi yaitu dengan memunculkan fase setelah frustasi yang antara lain menemui sutradara lalu bercerita tentang masalahnya dan sutradara meminta ia membaca ulang buku pemeranan. Setelah membaca buku pemeranan dia harus melatih imajinasi sampai imajinasi tumbuh dan sampailah pada akhir cerita yaitu terciptanya pertunjukan yang bagus dengan imajinasi yang bekerja dengan baik pada Baysa. Menarik kan metodenya...... hihi...

Jam setengah sebelas malam, sudah cukup malam rupanya. Saya kira Kak Is akan menyudahi pelajaran tentang metode menulis ini, rupanya masih ada satu lagi yang sangat menarik dan menggugah kai dari kantuk yang mulai memeluk.... 


3. Memekan (Metode Meja Berantakan)

Singkatan dari metode ini sedikit menggelikan bukan? hihii... 'memekan' adalah kata yang tiba-tiba diceploskan Gandi setelah mendengar kak is menyebutkan nama "Metode Meja Berantakan". Serentak kami tertawa dan Kak Is langsung menyetujui sebutan untuk metode yang lagi-lagi diciptakan oleh Kak Is sendiri ini. Kak Is meletakan beberapa benda di atas meja benda-benda itu adalah: tas warna merah, sebungkus rokok, buku, segelas kopi, asbak dan spidol. 

"Tulislah sesuatu, boleh prosa, narasi, puisi atau apapun dari benda-benda yang berantakan di atas meja itu! sekarang!" 

Kak is meminta kami untuk menulis sesuatu dari benda-benda itu. Dalam tulisan itu harus muncul benda-benda tersebut dan menjadi sesuatu yang berhubungan, tidak boleh melompat-lompat seperti tidak nyambung, dan kami boleh menambah kata-kata yang lain. Wahh.... sebuah tantangan yang sangat seru. Tiba-tiba kami semua menjadi tergugah dan sedikit bingung mau menulis apa, tapi tak lama kemudian kami diam dan sibuk masing-masing dengan tulisannya. Saya sedikit bingung mau menulis apa, dan sampai pada akhirnya saya lebih memilih menulis sajak sajalah. Tapi tiba-tiba saya tersadar kalau di meeja itu ada spidol. haha... bingung meletakan kata spidol dalam sajak... akhh!! saya kira cuma ada 5 benda, rupanya ada spidol juga disana. Ternyata tak cuma saya saja yang baru sadar Desi pun juga begitu, dia tidak tahu kalau ada spidol disana. Untuk teman-teman yang ingin menulis prosa atau narasi mungkin tidak ada masalah, tapi saya dan desi yang berniat menulis sajak jadi agak gimana gitu. Kata Kak Is itulah tantangannya, bagaimana kata 'spidol' itu jadi tak terasa janggal dalam tulisanmu.  Makin bingunglah saya mau menulis sajak yang seperti apa. ahh sudahlah saya coba tulis sebisa saya. daaaan inilah hasilnya :

Asap sisa rokokmu masih mengepul dari asbak di atas meja kayu
Tubuhku bergeming, segelas kopi membening
Sebuah buku catatan kau ambil dari tas merah tua
Empat baris sajak tanpa judul adalah yang pertama kubaca
Masih tercium wangi tinta spidol di atas lembar tipis itu
Dadaku seperti diremas tanpa batas
Kau berlalu, malam membatu

Itulah hasil tulisanku dari meja berantakan itu. Setelah kami selesai menulis Kak Is meminta kami membacakan hasil tulisan. Akh.. tiba-tiba saya jadi kurang percaya diri. Bucek mendapat giliran pertama membaca, karena Kak Is akan meminta tolong Bucek untuk membeli beberapa bungkus sate. Rupanya Bucek bisa menulis dengan halus, hasil tulisannya  lumayan bagus. Dilanjut dengan beberapa teman yang lainnya. Laras mendapat giliran terakhir membacakan tulisanya, dia seperti malu-malu dan tidak percaya diri. Padahal setelah ia baca ternyata hasilnya bagus. Menurut penilaian Kak Is semuanya lulus dan berhasil menulis dengan baik. Ada yang berupa narasi seperti Okop, Reni dan Gibran. Ada yang puisi seperti Bung. Sementara saya ternyata jenis tulisanya berupa puisi yang prosaik. Saya juga punya contoh hasil tulisan teman saya Desi yang menurut Kak Is prosa personifikasi:

Laki-laki tua meletakan tas merah tua dengan buku-buku usang di atas meja. Sebentar ia bergegas mencari spidol warna. Hendak ia tuliskan kisah tentang abu rokok yang tak utuh pada asbaknya, ampas kopi yang tersisa pada gelasnya. Laki-laki tua, tak hendak ia tuliskan kisah asmara padanya. 

Itulah hasil tulisan Desi, bagus kan? 
Kak is tidak menduga ternyata beberapa teman yang tidak terbiasa menulis jadi bisa menulis dengan baik, seperti Desi, Gibran, Baysa misalnya. Kak Is juga tidak melihat ada kejanggalan dalam meletakan kata spidol di setiap hasil tulisan saya, Desi dan teman-teman yang lain. Kami semua berhasil menulis menggunakan memekan ini!

Menurut Kak Is, metode ini membimbing imajinasi kami sekaligus membebaskannya. Memaksa kami menggunakan kata-kata yang tersedia dan menghubungkannya dengan apik. Metodi yang unik tapi dahsyat menurut saya.


Itulah tiga metode menulis yang Kak Is berikan semalam. Saya menyimpulkan sendiri dan merasakan bahwa metode pertama saya masih agak bingung dan tidak membuat saya tertarik untuk menulis apapun, mungkin karena ada aturan-aturan dan lebih bersifat tetap.  Metode kedua menggugah saya dan membuat saya ingin sekali menulis prosa seperi novel, cerpen, dll. Sementara metode yang terakhir membuat saya ingin sekali menulis puisi atau bersajak rialah. Pendapat sayapun di iyakan oleh Kak Is. Ia berkata bahwa metode pertama lebih banyak digunakan untuk menulis artikel, esay dll. Metode kedua lebih ke prosa sementara metode terakhir lebih ke puisi. Metode yang diciptakan Kak Is lebih menarik karena langsung bisa jelas dipraktekan, membebaskan kami menuangkan ide dan tidak ribet. Ada tantangan disana.

Tak terasa sudah setengah dua belas malam. Ahh.. masih segar rasanya mata ini. Pelajaran ditutup dengan makan sate bersama-sama sambil ngobrol santai. Tepat jam dua belas saya memutuskan pulang dengan on fire dan tidak sabar sekali ingin menuliskan proses belajar ini di blog saya.  Yeaay!!!

Aktor:
Desi Susan, Vita Oktaviana, Laras Shinta, Gandi Maulana, Baysa, Nobokop, Bung Rico, dan Gibran.




Menafsir Dengan Sederhana

Senang sekali semalam kak is memberi kami materi tentang hermeneutik. Sebenarnya tidak keseluruhan hermeneutik, kak is  memberi contoh yang menurut saya sangat cerdas. Seperti ini misalnya:

Suatu hari di sebuah dinding tertulis

 "the hunter maniy"

Dari data diatas kami diminta mencari tahu:
1. Apa jenis kelamin si penulis?
2. Berapa umur si penulis?
3. Apa latar belakang pendidikan si penulis?
4. Apa pekerjaan si penulis?
5. Dalam situasi seperti apakah ia sehingga menulis seperti itu?

Bisakah kami menjawab 5 pertanyaan diatas dengan data itu? Yap!! Jawabannya kami bisa, kami mencoba mencari tahu informasi sebanyak mungkin dengan data yang sedikit. Saya sendiri mencoba mencari jawaban pertanyaan pertama dan seterusnya. Kami tidak boleh menjawab asal, harus berdasarkan analisa yg bisa diterima, seperti ini misalnya :

1. Jenis kelamin

Jenis kelamin si penulis itu laki-laki. Karena 'hunter' identik dengan laki-laki. Jadi kemungkinan besar si penulis itu laki-laki. Lagi pula ia bermaksud menulis 'pemburu uang' artinya seseorang yg sedang berjuang mencari uang, dan itu juga identik dengan laki-laki.

2. Usia

Usia bisa dipastikan sekitaran 25-35 tahun. Pertimbangannya, usia seperti itu adalah saat getol-getolnya seseorang lelaki mencari uang. Bisa juga diatas 35 atau di bawah 25 tahun. Tapi sangat tidak mungkin kalau itu dilakukan anak-anak atau remaja belia.

3. Pendidikan

Dari kata-kata yg ia tuliskan itu tampak sekali kalau dia bukan dari pendidikan tinggi. Cara penulisan menggunakan bahasa inggris yang salah. Seharusnya "the money hunter" dari penulisan salah, penyusunan kata juga salah. Jelas sekali kalau ia bukan orang yg menempuh pendidikan tinggi, mungkin saja dia tidak lulus SMP atau bahkan tidak lulus SD. Seseorang lulusan SMA yang tidak paham sekali bahasa inggris pun tidak mungkin salah menuliskan frasa diatas. Karena kata 'money' sendiri bukan kata yang susah dalam bahasa inggris, kata yg sering kita dengar.

4. Pekerjaan

Pekerjaan si penulis bisa apa saja, yang pasti bukan pekerjaan kantoran atau pekerjaan yg mapan. Dilihat dari Mungkin saja penjual koran, kuli bangunan, tukang asongan dll. Karena orang dengan pendidikan rendah pasti tidak memiliki pekerjaan yg mapan.

5. Situasi

Apa yang mendorong dia menuliskan itu? Mungkin ia ingin menunjukan betapa sulit keadaannya sekarang dan ingin sekali bekerja sekuat tenaga untuk mendapatkan uang. Mungkin ia ingin menunjukan betapa gigihnya ia.


Begitulah teman-teman, dari data yg sedikit itu, kami harus mencari tahu banyak informasi. Kak is juga memberikan contoh lain, yaitu dari pesan sms. Kita bisa tahu apa situasi si pengirim itu dari bahasa yg ia gunakan, pemilihan kata, peletakan tanda baca dll. Buatku materi ini sangat penting. Kami diminta menjadi penafsir "hermes".  Bagaimana kita bs mengaplikasikannya juga dalam pemeranan yaitu ketika kami menganalisa naskah. Kenapa si pengarang memilih kata ini? Bagaimana sebenarnya situasi si tokoh? Dan masih banyak lagi informasi yang kami peroleh dari data yg tersedia.






Tuesday 7 October 2014

Monday 6 October 2014

Tempo - Ritme dalam Gerak



BAB XI
Tempo – Ritme Dalam Gerak
(“Membangun Tokoh” oleh Constantin Stanislavski)

Salah satu ciri dari makhluk hidup adalah begerak, baik itu makhluk hidup yang aktif seperti manusia dan hewan maupun makluk hidup yang pasif seperti tumbuh-tumbuhan. Gerak adalah sebuah proses mengalirnya energi melalui tubuh makhluk hidup untuk mencapai tujuan dalam satu rangkaian atau kesatuan yang tak terputus. Dalam fisika, gerak adalah perubahan posisi suatu benda terhadap titik acuan, titik acuan sendiri didefinisikan sebagai titik awal atau titik tempat pengamat. Sebagai seorang aktor, kita tidak bisa mengabaikan tiap gerakan kita diatas panggung, karena gerakan sekecil apapun akan tampak di mata penonton.  Dalam setiap gerak tubuh  manusia atau aktor  memiliki tempo dan ritme tertentu, itulah yang membedakan manusia satu sama lain. Dalam bab XI di buku Membangun Tokoh karya Stanislavski ini kita akan membahas lebih jauh tentang tempo-ritme dalam gerak. Tempo adalah cepat-lambatnya sebuah ketukan pada satuan-satuan  yang sama panjang dalam  birama yang tetap. Ada berbagai macam tempo yaitu lambat, sedang, cepat, sangat cepat dll. Ritme adalah hubungan kuantitatif satuan-gerak dengan panjangnya satuan dalam suatu tempo dan birama tertentu.
Marilah kita mengambil contoh yang sederhana. Misalnya ada dua peristiwa yang berbeda tempat dan waktu. Pertama, ada seorang narapidana duduk di ruang sidang dan baru saja mendengar putusan hakim kalau dia akan dihukum mati atas kasus pembunuhan yang sebenarnya tidak ia lakukan. Ia bangkit dari tempat duduk dan meninggalkan ruang sidang yang dihadiri oleh seluruh keluarganya. Kedua, seorang perempuan yang baru saja tahu kalau dirinya hamil setelah menunggu hal itu selama 7 tahun. Dia berlari dari kamar mandi dan tidak sabar untuk memberitahu suaminya yang sedang tidur pulas di ranjang.
Dari gambaran contoh diatas, kita bisa menemukan dua bentuk tempo-ritme gerak yang berbeda: langkah kaki, gestur seluruh tubuh juga berbeda, hal yang lain misalnya cara mengangkat kepala, menggerakan tangan, dll. Dari contoh itu pula kita mendapat kesimpulan bahwa seluruh tempo-ritme yang ada dalam setiap aktivitas fisik seseorang selalu dipengaruhi oleh suasana batin yang ada dalam dirinya. Jadi apa yang ada secara batiniah akan tampak secara lahiriah diatas panggung.
Dalam buku Membangun Tokoh, Stanislavski mengatakan bahwa :
Setiap hasrat manusia, setiap kehidupan, setiap pengalaman mempunyai tempo-ritme. Setiap gambaran batin atau gambaran lahir yang khas punya tempo-ritme tersendiri.........................Singkatnya, ada semacam tempo-ritme yang melekat pada setiap menit kehidupan dalam dan kehidupan luar kita. (2008;224)

Berdasakan kutipan diatas kita bisa mengatakan bahwa tempo-ritme tubuh seseorang selalu terpaut dengan tempo-ritme batinnya. Jika seorang aktor secara naluriah benar dalam merasakan apa yang diucapkan dan dilakukan diatas panggung, maka tempo-ritme yang benar akan tercipta dengan sendirinya. Dalam bab ini, Stanislavski memberikan banyak contoh bagaimana cara menentukan tempo-ritme dalam sebuah peristiwa. Misalnya seperti ini, Pak Torstov memberikan ketukan-ketukan menggunakan metronom, kemudian meminta murid-muridnya untuk menebak atau membayangkan peristiwa apa yang sedang terjadi dengan tempo-ritme seperti itu. Lalu sebaliknya, Pak Torstov meminta mereka untuk membayangkan sebuah peristiwa dan mengekspresikannya dalam sebuah ketukan tempo-ritme. Dalam hal ini peran imajinasi sangatlah penting, karena itulah yang membimbing kita untuk menemukan tempo-ritme itu.  
Apakah tempo-ritme hanya melulu tampak pada gerakan-gerakan yang besar saja? Bagaimana kalau seperti ini, seseorang yang putus asa dan bersedih lebih memlih duduk diam. Apakah masih bisa kita melihat dan menikmati tempo-ritme disana? Iswadi Pratama dan Ari Pahala menjelaskan dalam buku mereka Akting Berdasarkan Sistem Stanilavski Sebuah Pengantar :
Tempo-ritme itu memang tak kasat mata, tapi ada dan riil dalam dirinya, sebentuk arus emosi yang sangat halus atau bahkan penuh gejolak. Kita bisa melihatnya pada tempo-ritme tarikan dan hembusan nafas, sorot mata, atau perubahan air muka, cara dia menggerakan ujung jari, mengubah posisi duduk meski Cuma gerakan yang sangat keci. Kita bisa melihat tempo-ritme dalam semua laku fisik yang paling halus sekalipun. (2012;104)

Dari sini, kita menjadi paham bahwa apapun yang kita lakukan di kehidupan sehari-hari ataupun diatas panggung memiliki tempo-ritme, baik itu gerakan besar atau hanya sekedar duduk diam. Saya coba ambil contoh pengalaman saya, dalam lakon Buried Child ketika Shelly duduk diam mendengarkan cerita Alpian yang membongkar kebobrokan keluarganya. Pada adegan itu Shelly hanya diam mendengarkan cerita Alpian, tetapi ada tempo-ritme batin yang tumbuh dan tampak di mata penonton,dari gerakan tangan, cara mengangkat kepala, hembusan nafas, sampai gerakan bola mata. Pada saat itu saya menemukan banyak kesulitan, salah satunya adalah kurangnya impuls sehingga mempengaruhi tempo-ritme batin Shelly dan tampak di mata penonton melalui tempo-ritme luar. Pervis Sawoski dalam bukunya The Stanilavski System Growth and Methodology menytakan :
Tempo-rhythm can act as a powerful bridge between the inner experience and its physical expression. For Stanislavski, tempo-rhythm was both inner and outer.(Tempo-ritme dapat berperan sebagai jembatan yang kuat antara pengalaman batin dan ekspresi secara fisik. Bagi Stanislavski, tempo-ritme itu ada pada keduanya, baik dalam dan luar)

Tidak hanya aktor atau sebuah adegan saja yang memiliki tempo-ritme gerak, tetapi juga keseluruhan pertunjukan. Artinya tempo-ritme sangatlah besar untuk pergelaran apapun. Banyak sekali contoh kasus, sebuah pementasan yang bagus dan sudah digarap dan dimainkan dengan cantik, tidak berhasil karena ditampilkan dengan terlalu lambat atau terlalu terburu-buru. Kita sebagai aktor harus mengikuti tempo-ritme yang sudah disetel oleh sang sutradara. Salah satu cara kita menjaga tempo-ritme pertunjukan adalah dengan menyimak pertunjukan itu di set wing walaupun masih lama atau kita belum masuk ke panggung, seperti yang sudah kita terapkan di Teater Satu. Aktor harus menyimak dan ikut dalam tempo-ritme pertunjukan supaya ketika masuk ke panggung tempo-ritme itu sudah ada dalam tempo-ritme pertunjukan. Stanislavski mengatakan:
Dalam tradisi, pendahulu-pendahulu besar kita seperti Shcepkin, Sadovski, Shumski, dan Samarin selalu sudah ada di sayap panggungjauh sebelum saat kemunculan mereka di panggung, supaya mereka punya waktu yang leluasa untuk mengikuti dan menangkap tempo permainan yang sedang berlangsung. Itulah salah satu alasan mengapa ketika mereka masuk tampil hidup, bertenaga, tak mengada-ada, dan tepat dalam pembidikan nada permainan serta peran yang mereka bawakan dalam permainan itu. (2008;268)

Bisa kita lihat aktor-aktor sekelas mereka saja masih menyimak pertunjukan dari set wing sebelum giliran masuk ke panggung agar satu irama dengan pertunjukan. Saya jadi tersadar, lalu apakah layak aktor sekelas kita memiliki alasan untuk tidak mengikuti atau menyimak pertunjukan yang sedang berlangsung? Beberapa aktor di indonesia bahkan ada yang tidur dulu di ruang istrahat atau ruang ganti dan dibangunkan oleh asisten pribadinya apabila sudah hampir dekat giliran masuk panggung. Kenapa mereka tidak sekalian nongkrong di kantin dulu atau belanja ke pusat perbelanjaan dan akan di telpon oleh asisten pribadinya kalau sudah mau giliran naik panggung. Mana mungkin pementasan dengan jenis aktor yang seperti itu bisa menghasilkan pertunjukan yang bagus. Tempo-ritme pertunjukan tidak akan berlangsung baik dengan cara seperti itu. Dengan ini kita jadi tahu betapa pentingnya tempo-ritme pada sebuah pertunjukan. Setiap aktor harus saling menjaga tempo-ritme pertunjukan dengan baik agar tidak merusak keseluruhan pertunjukan.

Bandar Lampung, 5 Oktober 2014
Vita Oktaviana

Referensi
Stanislavski, Constantin, 2008. Membangun Tokoh Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Pratama, Iswadi dan Hutabarat, Ari Pahala, 2012. Akting Berdasarkan Sistem Stanilavski
            Sebuah Pengantar Lampung; Dewan Kesenian Lampung


Sawoski, Pervis, 2009. The Stanilavski System Growth and Methodology.




1.  Metronom adalah alat mekanikal yang digunakan para pemusik/pencipta lagu untuk menentukan tempo
      musik yang sedang mereka latih/buat.